Jum. Jun 20th, 2025

Dari Dapur ke Dunia: Perjalanan Erni, Ibu Rumah Tangga Mengubah Sampah Jadi Berkah

Di sebuah sudut permukiman, jauh dari sorotan media arus utama, seorang ibu rumah tangga berusia 55 tahun menyalakan bara perubahan dengan cara yang tak terduga: mengumpulkan sampah plastik. Namanya Hj. Erni Suhaina Ilham Fadzry, dan kisah hidupnya adalah bukti bahwa kontribusi besar tidak harus lahir dari gedung-gedung tinggi, melainkan bisa berawal dari dapur rumah sendiri.

Dalam kehidupan modern, produk berbahan plastik menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian. Murah, ringan, dan tahan lama—plastik telah merajai pasar sebagai bahan serbaguna. Namun di balik manfaat itu, plastik menyisakan persoalan besar: pencemaran global yang mengancam kelestarian lingkungan. Melihat kenyataan ini, Ibu Erni tidak tinggal diam. Ia memilih jalan sunyi: mengelola sampah plastik di lingkungannya, bukan hanya demi kebersihan, tapi juga sebagai bentuk pemberdayaan perempuan.

Kepedulian Ibu Erni terhadap lingkungan bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Sejak kecil, ia dan saudara-saudaranya sudah dibimbing oleh kedua orang tuanya untuk hidup hemat dan bertanggung jawab terhadap alam. Salah satu petuah hidup Sunda yang paling membekas dalam ingatannya adalah “kanu buruk masing butuh, kanu anyar masing lebar”—yang secara sederhana dimaknai sebagai ajakan untuk tetap menghargai barang lama dan menyayangi barang baru. Dari sanalah ia belajar konsep reuse, recycle, dan reduce jauh sebelum istilah itu populer di kalangan masyarakat luas.

Ketika masih berkuliah, ia kerap melintasi tumpukan sampah di sepanjang perjalanan ke kampus. Momen paling membekas terjadi pada 2005, saat tragedi longsor sampah di TPA Leuwi Gajah merenggut nyawa 157 orang dan menimbun permukiman warga sekitar. Peristiwa tragis itu menjadi refleksi mendalam bagi Ibu Erni. Ia sadar bahwa persoalan sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga setiap individu, termasuk dirinya sebagai produsen sampah. Sejak itu, ia bertekad untuk tidak hanya berguna bagi keluarga, tetapi juga berkontribusi bagi masyarakat, lingkungan, dan negara.

Langkah nyata dimulai pada tahun 2005 dengan mendirikan Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Bu Nandang. Melalui lembaga ini, Ibu Erni mengajarkan keterampilan membuat produk dari sampah kepada masyarakat, terutama kaum perempuan. Ia menyulap sampah kemasan minuman, pewangi pakaian, sedotan plastik, hingga koran bekas menjadi tas anyaman yang fungsional dan bernilai seni tinggi. Tak hanya itu, keahliannya di bidang kecantikan dan tata rias pengantin ia kombinasikan dengan misi lingkungan. Dalam pelatihan kecantikan, ia turut menampilkan karya-karya dari limbah seperti paket hantaran dan gaun pengantin, yang selalu memancing minat para peserta.

Ketertarikan itu berkembang menjadi ketertarikan aktif. Banyak peserta pelatihan yang kemudian meminta diajarkan cara mengolah sampah menjadi karya. Tanpa disadari, metode ini jauh lebih efektif ketimbang sekadar imbauan menjaga lingkungan. Mereka tidak hanya belajar keterampilan baru, tetapi juga mulai mengelola sampahnya sendiri. Perlahan namun pasti, gerakan ini meluas. Instansi pemerintah dan CSR perusahaan mulai menggandeng Ibu Erni untuk memberikan pelatihan kewirausahaan berbasis sampah di berbagai daerah. Selain perempuan, kelompok difabel juga menjadi sasaran pemberdayaan. Mereka diajak menciptakan nilai ekonomi dari limbah, memberi mereka martabat dan sumber penghasilan.

Meski tidak memproduksi secara masal, karya-karya unik Ibu Erni—terutama gaun dari sampah plastik—memiliki nilai ekonomi tersendiri. Gaun-gaun itu kerap disewa oleh sekolah dan perusahaan untuk keperluan karnaval dengan tarif berkisar antara Rp150.000 hingga Rp500.000. Slogan “sampah menjadi berkah, sampah menjadi indah, dan sampah menjadi rupiah” menjadi semangat yang ia tanamkan dalam setiap pelatihan, agar masyarakat tertarik dan ikut terlibat dalam pengelolaan sampah.

Atas segala dedikasinya, Ibu Erni telah menerima berbagai penghargaan. Namun, baginya, penghargaan bukan tujuan utama. “Semua inisiatif saya lakukan atas kesadaran pribadi demi menjaga lingkungan. Saya tidak mengharapkan penghargaan dari manusia. Menjaga lingkungan adalah amal kebaikan, dan menyebarluaskan ilmunya adalah amal jariyah,” ujarnya. Meskipun demikian, berbagai apresiasi datang sebagai bentuk pengakuan atas upayanya, di antaranya: Rekor MURI untuk karya spektakuler berupa gaun pengantin, seragam panitia, dan dekorasi dari plastik kresek pada tahun 2010; Inspiring Women Award dari Suara Merdeka Group tahun 2011; serta Indonesia Green Award 2012 kategori Green Local Hero dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Perindustrian.

Ia juga pernah menerima beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengikuti magang di event Istanbul Expo di Turki serta mengikuti pameran di beberapa negara Eropa. Pengalaman internasional itu sangat berkesan dan memperluas wawasannya tentang pengolahan produk berbahan sampah.

Namun perjalanan Ibu Erni tidak selalu mulus. Tantangan terbesar justru datang dari lingkungan terdekat: keluarga. Kebiasaan mengumpulkan sampah membuat rumah kecil mereka terlihat kotor dan berantakan. Ia harus cermat membagi waktu antara tugas domestik dan memilah serta mengolah sampah. Botol-botol plastik ia gunting, sampah ia rapikan, dan semuanya ia tata dengan telaten agar tidak menumpuk. Ia merasakan bahwa waktu 24 jam sering kali tak cukup.

Di sisi lain, cibiran dari orang luar juga pernah ia terima. Salah satunya dari peserta pelatihan yang merupakan istri pejabat. Mereka menganggap pelatihan mengolah sampah sebagai kegiatan sia-sia. Namun Ibu Erni tidak patah semangat. Ia justru menjelaskan bahwa keterampilan ini penting agar para tokoh masyarakat bisa menjadi influencer dalam menyebarkan pentingnya pengelolaan sampah secara bijak. Baginya, tantangan adalah peluang untuk tumbuh dan mencari solusi. Dengan cara itu, ia semakin terasah dan kokoh dalam misi lingkungannya.

Ke depan, Ibu Erni punya harapan besar bagi gerakan pengelolaan sampah di Indonesia. Ia menyadari bahwa perubahan besar tak bisa ia lakukan sendiri. Diperlukan dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah. Ia berharap ada political will yang kuat dalam bentuk regulasi dan sistem tata kelola sampah hingga tingkat masyarakat. Ia juga menginginkan dukungan finansial untuk penyelenggaraan pelatihan gratis serta saluran komunikasi yang mampu menyebarluaskan pesan-pesan pengelolaan sampah secara masif.

“Saya sadar kemampuan saya terbatas. Tapi dengan dukungan bersama, saya yakin kita bisa membuat gerakan pengelolaan sampah yang berdampak luas,” ujar Ibu Erni.

Langkah kecil dari rumah tangga sederhana ini kini telah menjadi inspirasi nasional, bahkan menembus panggung internasional. Dari selembar plastik bekas, Ibu Erni membuktikan bahwa sampah bisa menjadi jalan menuju perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berkelanjutan. Sebuah perjalanan yang dimulai dari kesadaran hati, untuk bumi yang lebih lestari. (*)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *